Ini tak mungkin ! Kurasakan amarah bergolak dalam dada. Nuraniku seakan tertutup kabut hitam nan pekat. Perasaanku mati. Otakku bekerja keras memikirkan bagaimana cara mendapatkan kembali semua ini.
Ya, hanya ada satu cara. Dan harus terlaksana. Aku tak mau semuanya sia-sia. Kutekan tombol speed dial di handphoneku yang langsung dijawab pada deringan pertama.
“Bagaiamana? Ini rencana terakhir yang harus dijalankan. Apa kau siap?”
“Ya Pak.”
“Baiklah, aku ingin semuanya berjalan lancar. Besok tepat pukul sepuluh pagi.”
“Baik Pak.”
Sambungan terputus. Aku tersenyum lega.
* * * *
Malam merangkak tua. Lengan – lengan jam menunjukkan pukul satu dini hari. Udara dingin menusuk kulit. Mempersempit pembuluh darah. Membuatku merasa tak nyaman. Rasa kantuk yang tak tertahan tak didukung oleh mataku yang tak mau terpejam. Memaksa anganku mengulang ingatan kejadian beberapa bulan yang lalu.
Diawali dari pencalonanku menjadi seorang kepala daerah. Sebuah jabatan yang tak kan ditolak oleh siapapun yang ingin hidupnya lebih baik. Makmur, terjamin, dan sejahtera. Dan demi kedudukan itu apa saja rela kulakukan.
Mulai dari menjual sawah dan ternak warisan orang tua istriku, hingga berhutang kanan kiri kulakoni untuk membiayai semua proses pencalonan dan membiayai kampanye. Bagi – bagi sembako dan pengobatan gratis, pembangunan posyandu, pemberian sumbangan pendidikan ke sekolah-sekolah, hingga membagikan uang secara diam-diam ke sejumlah masyarakat. Semuanya kujalani , demi mendapatkan suara yang lebih banyak.
Namun, apa yang telah kulakukan nampaknya tak membuahkan hasil apapun. Perolehan suara yang kudapat tetap berada di posisi terbawah dari empat orang calon.
Apakah aku menyesal melakukannya? Ya, aku menyesal. Tapi apa guna sesal di belakang?. Karena semua tak kan kembali seperti sedia kala. Perolehan suaraku juga tak kan meningkat. Penyesalanku kini telah terlambat. Dan aku tak rela, dana beratus-ratus juta yang telah kukeluarkan terbuang sia-sia. Dana yang kudapat dari hasil berhutang yang tak kutahu bagiamana dan kapan akan kulunasi.
Tak ada pilihan lain. Akan kulakukan hal ini untuk terakhir kalinya. Untuk merebut sesuatu yang yang harus menjadi milikku. Merebut sebuah jabatan yang lebih tinggi. Demi kehidupan yang lebih baik. Merebutnya dengan cara apapun.
* * * *
“Dimana aku? Tempat apa ini?”
Aku bergumam sambil mengamati keadaan sekeliling. Tempat ini begitu asing bagiku. Namun disini aku merasakan perasaan yang akhir-akhir ini tak pernah kurasa. Perasaan damai dan tenang.
Diantara rasa damai itu, pikiranku tiba-tiba bekerja. Untuk apa aku disini? Apa tujuanku kemari? Dimana aku berada kini?
“Pak, maaf, Anda orang baru disini? Atau Anda tersesat?”
Seorang bocah laki-laki berseragam putih biru menegurku. Mungkin aku bisa bertanya pada anak ini.
“Iya Nak, Bapak sepertinya tersesat. Kamu tahu ini dimana? Tempat apa ini?”
“Tempat ini namanya Negeri Atas Awan. Bapak pernah dengar?”
“Tidak, saya sama sekali tak pernah tahu. Oh ya, semenjak saya tiba disini, saya merasakn perasaan tenang dan damai. Apa kamu merasakan hal yang sama?”
Bocah kecil itu hanya tersenyum dan mengangguk.
“Disini nggak pernah ada permusuhan, pertentangan, atau hal-hal yang nggak baik. Disini semua warganya hidup aman, damai dan sejahtera. Meskipun warga disini dari golongan, suku, ras, dan agama yang berbeda. Semua hidup rukun berdampingan.”
“Tempat yang indah.”
“Ayo ikut, Pak!” bocah kecil itu menarik tanganku. Mengajakku entah kemana.
“Kita mau kemana?”
“Ke ujung jalan sana Pak.”
Anak itu menunjuk suatu tempat di ujung jalan. Aku mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa ke ujung jalan.
“Memangnya ada acara apa?”
“Acara penyambutan dan penerimaan kepala daerah yang baru. Kan disini baru saja ada acara pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan asal Bapak tahu, semua calon yang kalah juga datang ke acara itu. Buat kasih selamat dan dukungan buat yang menang.”
“Yang kalah berbuat seperti itu?” tanyaku tak percaya.
“Ya iya lah Pak. Disini kami benar-benar menerapkan sistem demokrasi. Demos dan kratos. Pemerintahan rakyat. Jadi rakyat ikut serta dalam proses pemerintahan. Pemimpin menjaga rakyat, rakyat mengawasi pemimpin. Semuanya saling menghargai dan menghormati. Tak ada rasa iri, dengki ataupun dendam jika kalah dalam pemilu. Semuanya menerima dengan lapang dada. Begitu pula yang menang, tak pernah menyombongkan diri. Semuanya tetap saling membantu dan memberi dukungan.”
Anak laki-laki itu menjelaskan panjang lebar. Dan penjelasannya yang bagai seorang guru itu pun menjadi tamparan bagi kelakuanku selama ini.
“Bapak tahu, kenapa rakyat disini bisa hidup dengan aman, damai, dan sejahtera?”
Aku menggeleng mendengar pertanyaannya. Dia pun menjawabnya sendiri.
“Karena disini, baik warga dan pemimpinnya berlaku adil dan jujur. Tak ada perbedaan, tak ada jarak antara si Kaya dan si Miskin. Semuanya berbaur menjadi satu. Saling menjaga, saling membantu dan menghormati. Semua disini bersaudara.”
Aku terdiam mendengar ucapannya. Membayangkan keadaan negeriku sendiri. Kapankah negeriku bisa seperti Negeri atas awan ini?. Ah, mungkina aku berpikir terlalu jauh. Mungkin sebaiknya aku berpikir dari daerah tempat tinggalku. Sebuah daerah yang tak terlalu luas, namun tak ada kedamaian disana. Kedamaian yang kurasakn di Negeri atas awan. Kapankah daerahku bisa menjadi seperti Negeri atas awan?
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian
Menjadi istananya
Aku terjaga begitu mendengar ringtone handphoneku mengalun keras. Lagu berjudul Negeri di awan terdengar dari sana. Mengingatkan pada mimpiku. Mimpi yang terasa begitu nyata tentang Negeri atas awan yang damai, dengan segala kehidupannya. Sebuah mimpi yang mungkin menjadu petunjuk dan peringatan bagiku.
Ku ambil handphone yang tergeletak tak berdaya di atas meja. Kutekan tombol Ok untuk menjawab panggilan dari seseorang di seberang sana.
“Ada apa?”
“Bagaimana rencana kemarin? Apa jadi dilaksanakan, Pak?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan seseorang di seberang sana. Aku kembali memikirkan rencana yang telah kususun. Rencana untuk berdemo. Mengerahkan masa untuk menolak kekalahanku. Merebut hak orang lain yang benar-benar berhak. Apakah ini yang dinamakan demokrasi? Kapan daerah ini akan menjadi seperti Negeri atas awan jika pemimpinnya tidak jujur dan tidak bias menerima kekalahan dengan lapang dada?’
“Bagaimana Pak? Saya hanya ingin bilang, kalau Bapak tetap melaksanakan rencana Bpak, saya memutuskan untuk mundur.”
“Kenapa? Bukankah kemarin kau bilang siap?”
“Itu kan kemarin Pak. Hari ini saya berubah pikiran. Saya tidak ingin mempunyai pemimpin yang tidak jujur dan menghalalkan segala cara unuk mendapatkan kekuasaan. Kalau saat ini saja seperti ini, bagaimana nantinya? Maafkan saya, Pak.”
Sambungan terputus. Percakapan berakhir. Aku tertegun memikirkan perkataan yang baru saja kudengar.
Ya. Mungkin aku memang tak layak menjadi kepala daerah saat ini. Karena aku belum bias mengemban amanah yang diberikan rakyat. Aku belum bias menjadi seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Dan mungkin mimpi semalam merupakan petunjuk yang diberikan Tuhan padaku agar aku bisa berubah.
Aku siap menerima kekalahan ini. Kuikhlaskan semuanya. Kurelakan apa yang memang bukan hakku. Aku yakin ada seseorang yang lebih pantas mendapatkannya. Yang lebih bisa mengemban amanah rakyat dan menjadikan daerah ini, atau mungkin negeri ini menjadi seperti Negeri atas awan. Semoga.
TAMAT